A. Latar
Belakang Peristiwa Mei 1998
Peristiwa Mei 1998 yang merupakan suatu gerakan
reformasi di Indonesia ini dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, baik politik,
sosial, dan ekonomi. Dari faktor politik, dipicu oleh pengangkatan kembali
Soeharto menjadi Presiden RI setelah hasil pemilu 1997 menunjukkan bahwa
Golkar sebagai pemenang mutlak. Hal ini berarti dukungan mutlak kepada Soeharto
makin besar untuk menjadi presiden lagi di Indonesia dalam sidang MPR 1998.
Terpilihnya kembali Soeharto menjadi Presiden RI kemudian Ia membentuk Kabinet
Pembangunan VII yang penuh dengan ciri nepotisme dan kolusi.
Dari faktor ekonomi, Indonesia merupakan salah satu
Negara yang terkena dampak dari krisis moneter dunia yang berakibat pada
merosotnya nilai rupiah secara drastis. Hal ini diperparah dengan utang luar
negeri Indonesia yang semakin memburuk. Keadaan semakin kacau karena terjadinya
ketidakstabilan harga harga bahan pokok, termasuk minyak. Kenaikan harga minyak
sendiri kemudian berpengaruh pada kenaikan tarif angkutan umum.
Dari faktor sosial, banyak terjadinya konflik-konflik
sosial diberbagai daerah di Indonesia. Selain itu, krisis ekonomi yang
berkepanjangan berdampak pada rakyat yang banyak mengalami kelaparan. Hal ini
berakibat pada hilangnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Ini berarti
bahwa krisis ekonomi yang melanda Indonesia mendorong hancurnya kredibilitas
pemerintah Orde Baru dimata rakyat.
Secara garis besar, kronologi gerakan reformasi ini
diawali dengan adanya sidang Umum MPR (Maret 1998) memilih Suharto dan B.J.
Habibie sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI untuk masa jabatan 1998-2003.
Presiden Suharto kemudian membentuk dan melantik Kabinet Pembangunan VII.
Kabinet yang sarat akan kolusi dan nepotisme ini kemudian membuat mahasiswa
bergerak. Ditambah dengan terjadinya krisis moneter, maka pada bulan Mei 1998,
para mahasiswa dari berbagai daerah mulai bergerak menggelar demonstrasi dan aksi
keprihatinan yang menuntut penurunan harga barang-barang kebutuhan (sembako),
penghapusan KKN, dan mundurnya Suharto dari kursi kepresidenan.
Pada tanggal 12 Mei 1998, dalam aksi unjuk rasa
mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta telah terjadi bentrokan dengan aparat
keamanan yang menyebabkan empat orang mahasiswa (Elang Mulia Lesmana, Hery
Hartanto, Hafidhin A. Royan, dan Hendriawan Sie) tertembak hingga tewas dan
puluhan mahasiswa lainnya mengalami luka-luka. Kematian empat mahasiswa
tersebut mengobarkan semangat para mahasiswa dan kalangan kampus untuk
menggelar demonstrasi secara besar-besaran.
Hal ini berlanjut pada tanggal 13-14 Mei 1998, di
Jakarta dan sekitarnya terjadi kerusuhan massal dan penjarahan sehingga
kegiatan masyarakat mengalami kelumpuhan. Dalam peristiwa itu, puluhan toko
dibakar dan isinya dijarah, bahkan ratusan orang mati terbakar. Pada tanggal 19
Mei 1998, para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan
sekitarnya berhasil menduduki gedung MPR/DPR.
Melihat aksi-aksi tersebut, akhirnya pada tanggal 19
Mei 1998, Harmoko sebagai pimpinan MPR/DPR mengeluarkan pernyataan berisi
‘anjuran agar Presiden Suharto mengundurkan diri’. Pada tanggal 20 Mei
1998, Presiden Suharto mengundang tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat
untuk dimintai pertimbangan dalam rangka membentuk Dewan Reformasi yang akan
diketuai oleh Presiden Suharto.
Dan puncaknya, pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00
di Istana Negara, Presiden Suharto meletakkan jabatannya sebagai Presiden RI di
hadapan Ketua dan beberapa anggota Mahkamah Agung. Berdasarkan pasal 8 UUD
1945, kemudian Suharto menyerahkan jabatannya kepada Wakil Presiden B.J.
Habibie sebagai Presiden RI. Pada waktu itu juga B.J. Habibie dilantik menjadi
Presiden RI oleh Ketua MA.
Dampak yang ditimbulkan dari peristiwa ini tentu saja
adalah turunnya Soeharto dari kursi Presiden. Selain berdampak pada turunnya
Soeharto dari kursi Kepresidenan, peristiwa Mei 1998 ini juga berdampak pada:
a. Banyak yang hilang pekerjaan akibat
tempat-tepat bekerja dirusak ataupun di
bakar
b. Kerugian materil yang tidak dapat
dihitung lagi.
c. Banyak korban yang menderita fisik
dan psikis, apalagi korban dari tindak kekerasan seksual.
Permasalahan ekonomi yang
berkepanjangan sejak Tahun 1997, membuat Indonesia mengalami krisis. Terjadi
PHK di mana-mana, banyaknya pengangguran dan harga BBM dinaikkan membuat
keadaan semakin memburuk. Aksi-aksi mahasiswa yang telah bergulir sejak awal
1998 semakin marak dan menular ke banyak kampus di seluruh Indonesia. Aksi
mahasiswa yang terjadi sepanjang Mei 1998 menemukan momentumnya pada tanggal 12
Mei 1998 di kampus Universitas Trisakti di Jalan Kyai Tapa, Grogol, Jakarta.
Peristiwa ini telah merenggut nyawa empat orang mahasiswa Trisakti akibat
tembakan peluru tajam oleh aparat kepolisian.
Kerusuhan Mei 1998 terjadi pada
tanggal13-15. Ketiadaannya aparat membuat kerusuhan Mei 1998 ini mencapai klimaksnya pada 14 Mei 1998.
Perspektif Politik terjadinya Kerusuhan Mei 1998 tidak lepas dari aspek politik
yang terjadi saat itu. Isu rivalitas antara Wiranto dan Prabowo menjadi
pembicaraan kalangan elite khususnya elite tentara sejak awal 1998. Sebagian
pegamat menganalisa bahwa “konflik” yang terjadi antara Wiranto dan Prabowo
sengaja diciptakan Soeharto agar terjadi keseimbangan sehingga tidak ada yang
terlalu dominan.
Kasus yang memukul Prabowo menjelang
Mei 1998 adalah penculikan aktivis mahasiswa. Kasus penculikan tidak dapat
dipisahkan dari situasi keamanan, khususnya di ibukota, pada akhir 1997 dan
Januari 1998. Dengan munculnya kasus penculikan, posisi Wiranto menjadi di atas
angin. Ia berhasil menampilkan diri sebagai figure demokrat dan seolah-olah
berpegang pada hukum. Prabowo mengakui adanya sembilan orang yang ditangkap
anggota Tim Mawar. Semuanya telah dilepaskan dengan selamat dan mereka yang
masih hilang bukanlah tanggung jawabnya. Artinya, memang ada pihak-pihak lain
di luar Prabowo yang ikut menangkap para aktivis. Rivalitas antara Prabowo dan
Wiranto jelas mewarnai politik internal di ABRI menjelang Insiden Trisakti dan
huru-hara Mei 1998.
Kepentingan-kepentingan golongan
saat kerusuhan Mei 1998 dapat kita lihat dari beberapa petinggi negara yang
melakukan suatu tindakan yang menurutnya itu merupakan suatu pengamanan.
Penculikan ini merupakan kerja politik yang kuat untuk mempertahankan kekuasaan
melalui keunggulan monopoli alat-alat kekerasan, dengan kata lain kasus
penculikan merupakan operasi intelejen dari sebuah desain politik untuk
mengamankan kepentingan status quo kekuasaan.
Saat terjadinya kerusuhan pun Pangab
Wiranto pergi ke Malang pada 14 Mei 1998 dengan membawa banyak jenderal
sedangkan saat itu situasi di Jakarta sedang darurat dan tidak ada pengamanan
satupun dari Brimob, pasukan Brimob ditarik dan Kostrad yang diturunkan ke
lapangan untuk pengamanan. Karena saat itu komando masalah keamanan adalah
Mabes ABRI yang membawahi POLRI dan TNI.
Disengaja atau tidak tetapi itu yang
terjadi pada saat huru-hara berlangsung. Hubungan Militer dan Sipil saat itu
berlangsung baik. Tetapi pada saat itu sipil yang dianggap pro demokrasi dan
menginginkan perubahan membuat para petinggi menganggap orang sipil menentang
penguas rezim ORBA. Masa pemerintahan ORBA juga dikenal sebagai pemerintahan
yang militeristik. Dimana dalam setiap mengatasi masalah yang terjadi di
masyarakat, pemerintahan selalu menggunakan militer untuk mengatasi masalah
yang sering kali menggunakan cara yang bersifat represif. Pelanggaran HAM dapat
dilakukan terang-terangan dimanapun oleh alat negara tanpa adanya proses hukum.
Awal 1998 saat pemerintahan Orba
berlangsung terjadi krisis. Krisis yang tidak mampu diatasi oleh pemerintah
saat itu membuat rakyat melakukan tindakan kejahatan di mana-mana. Aksi
masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa mulai terjadi dimana-mana. Aksi
dilakukan untuk menuntut mundur Soeharto karena dinilai telah gagal dalam
mengatasi masalah krisis Indonesia. Soeharto memerintahkan militer untuk
menghalang aksi demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat. Bahkan militer
tidak segan-segan melakukan tindakan represif yang berujung pada kematian di
kalangan demonstran. Situasi ini membuat Soeharto mengundurkan diri sebagai
Presiden saat itu.
B. Proses
terjadinya Peristiwa Mei 1998
Kasus-kasus Kerusuhan Mei 1998
a. Demonstrasi Mahasiswa
Pada bulan Januari 1998, aksi-aksi
dilakukan oleh berbagai kelompok seperti mahasiswa baik kelompok Cipayung
maupun Non Cipayung, koalisi LSM, Ormas dan kelompok pemuda dan buruh. Lokasi
aksi umumnya adalah kantor instansi pemerintah dan kampus. Bulan April, jumlah
aksi terus bertambah. Bentrok dengan aparat pun mulai meningkat. Isu politik
semakin meningkat. Tuntutan reformasi, anti KKN dan menurunkan Soeharto semakin
gencar. Dukungan masyarakat semakin
bertambah, begitu juga dari kelompok profesional. Pada bulan Mei, aksi
mahasiswa telah semakin meningkat, terlebih setelah pemerintah karena kenaikkan
harga BBM dan terjadinya penembakan di Trisakti yang diikuti oleh kerusuhan di
berbagai kota.
b. Insiden Trisakti
Usai mengikuti orasi-orasi hingga
siang hari mahasiswa mulai bergerak ke luar kampus melalui jalan S. Parman.
Mahasiswa menuntut long march ke Gedung DPR/MPR Senayan untuk menyampaikan
aspirasi mereka. Mereka diblokir oleh dua lapis aparat kepolisian lengkap
dengan tameng dan pentungan di depan Kantor Walikota Jakarta Barat, mahasiswa
di bawah pimpinan Ketua SMUT, Julianto Hendro Cahyono, meminta aparat
mengizinkan mereka ke Senayan dalam aksi damai. Aparat keamanan dari pasukan
Pengendalian Massa menolak tuntutan itu. Sejumlah mahasiswi membagikan bunga
mawar pada aparat sebagai tanda damai.
Ketika rombongan mahasiswa sedang
bergerak kembali ke dalam kampus, terjadi provokasi oleh seorang yang mengaku
alumni Universitas Trisakti yang kemudian diketahui bernama Mashud. Mahasiswa
menuduh Mashud sebagai intel yang mau memprovokasi mereka dengan cara mengejek
dan memancing kemarahan. Mahasiswa sempat terpancing dan mengejar Mashud yang
masuk ke barisan aparat keamanan untuk meminta perlindungan. Kemudian terjadi
dorong-mendorong antara massa dan pasukan. Selain dikejar, diburu, ditendang
dan diinjak oleh aparat keamanan, korban yang paling banyak berjatuhan adalah
korban karena tembakan. Laras senapan aparat keamanan secara sporadis diarahkan
kepada mahasiswa, aparat keamanan melakukan penembakan membabi buta. Sebagian
aparat yang mengambil posisi di atas jembatan layang mengarahkan tembakan kea
rah mahasiswa di dalam kampus. Dari sinilah banyak berjatuhan korban luka dan
meninggal dunia.
c. Penjarahan diberbagai Wilayah
Keusuhan hari pertama ini umumnya
terjadi di daerah Jakarta Barat, di sekitar Jalan KH Hasyim Asyari, lampu merah
Roxy, Jalan KH Mochammad Mansyur, kemudian menyebar menyebar ke Bendungan Hilir
Raya, Tanah Abang dan ke arah Bandara Cengkareng.
Penjarahan dan kerusuhan dilakukan
disiang hari di daerah Grogol dekat kampus Trisakti. Karena jalan ke arah
Grogol banyak diblokir akhirnya massa beralih ke Jalan Daan Mogot, Pesing,
Cengkareng hingga perbatasan Jakarta-Tanggerang. Perusuh membawa computer,
televisi, kulkas dan umumnya barang-barang elektronik. Perusuh yang lain
melampiaskan kemarahan dengan membakar barang-barang yang dikeluarkan ke
jalan-jalan bersama sejumlah mobil dan motor yang tengah parkir. Mobil-mobil di
jalan ke arah Bandara Soekarno Hatta dihentikan dan penumpangnya diperas
perusuh.
Beberapa toko dan ruko di Jalan
Hasyim Asyari habis dijarah dan dibakar massa. Beberapa kantor bank dilempari
batu. Kalangan etnis Tionghoa dan kalangan orang berada (orang-orang kaya)
menjadi sasaran. Di Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, massa telah menjarah
pertokoan, toko-toko juga dilempai batu, batu dan benda apa saja yang tersedia.
Gumpalan asap hitam menyelimuti langit kota Jakarta Ketika senja tiba, sebagian
massa mulai meninggalkan jalan dan kembali ke rumah masing-masing.
d. Pemerkosaan Terhadap Etnis Tionghoa
Berbagai tindakan akibat sentiment
rasial terjadi dalam berbagai bentuk. Mulai dari bentuk makian, hinaan, hingga
dalam bentuk perusakan, penjarahan/perampasan, pembakaran, dan penganiayaan,
pelecehan, pemerkosaan, hingga pembunuhan. Berbagai bentuk tindakan-tindakan
yang disertai ekspresi kebencian atau anti terhadap etnis tionghoa terjadi pada
semua wilayah, khususnya wilayah Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Jakarta
Selatan. Sentiment rasial yang terjadi saat itu membuat orang-orang dari etnis
tionghoa menjadi incaran massa saat itu, tidak hanya itu pemerkosaan dan
pembunuhan yang dilakukan terhadap etnis tionghoa pun membuat para kelompok
tersebut merasa terdiskriminasi.
e. Penculikan Aktivis
Menjelang SU-MPR (1-11 Maret 1998),
sebelum Mei 1998, terjadi penculikan terhadap sejumlah aktivis mahasisswa, LSM,
Ormas dan partai antara Februari hingga Maret 1998. Penculikan diiketahui
dilakukan oleh Tim Mawar, tim yang dibentuk oleh Komandan Batalyon 42, Group IV
Kopssus, Mayor Bambang Kristiono atas perintah Letjen Prabowo Subianto. Tim
Mawar mengembangkan perintah Danjen Kopassus dengan menangkap sembilan orang
aktivis. Kasus penculikan tidak dapat dipisahkan dari situasi keamanan,
khususnya di ibukota. Pada faktanya, walaupun nama orang-orang yang telah
diculik berkaitan dengan nama-nama organisasi (KNDP, PRD, PIJAR, ALDERA, PDI
Megawati dan lainnya) yang dianggap bermasalah dan berpeluang membahayakan
keamanan masyarakat dan Negara, sebagian besar dari orang-orang tersebut
diculik setelah SU-MPR selesai dilaksanakan. Oleh karena itu terdapat kesulitan
untuk memastikan bahwa orang-orang yang diculik tersebut hanya berkaitan dengan
pengamanan SU-MPR. Kasus penculikkan menjadi pembicaraan hangat setelah muncul
berbagai aksi demonstrasi dan unjuk rasa. Berbagai pihak, baik sipil dan
militer di dalam negeri memberikan reaksi dan tekanan keras khususnya kepada
pimpinan TNI/POLRI.
Kerusuhan Mei 1998 terjadi dalam
bentuk kerusuhan massal yang meliputi berbagai tindakan pembunuhan,
penganiayaan, peusakan, pembakaran, penjarahan, penghilangan orang secara paksa
dan pemerkosaan. Kerusuhan diyakini terkait erat dengan proses pergeseran elit
politik saat itu yang kemudian diikuti mundurnya Presiden Soeharto pada tanggal
21 Mei 1998 sebagai momentum kemenangan gerakan reformasi. Penyelesaiaan
pelanggaran HAM yang berat di masa lalu memiliki makna strategis sebagai bagian
dari proses transisi demokrasi yang harus dilalui oleh bangsa Indonesia. Hal
ini untuk mengegakkan hukum dan HAM, sekaligus memberikan keadilan kepada para
korban dan mencegah terjadinya kejadian serupa di masa depan dengan cara
menghukum para pelaku.
Kerusuhan Mei 1998 nyata-nayata
telah mengakibatkan penghancuran, penganiayaan dan melemahkan kelompok masyarakat
sipil. Kerusuhan yang terjadi didorong oleh sekelompok orang tertentu dan pada
banyak lokasi terlihat dengan ciri-ciri tertentu. Kelompok massa ini dilkenal
dengan sebutan provokator. Kelompok ini terlihat terlatih, terorganisir dan
membawa peralatan tertentu yang digunakan untuk merusak atau membakar. Fakta
menunjukan pada 55 lokasi titik terlihat adanya aparat keamanan di lokasi
kerusuhan. Ketidakhadiran aparat di 55 lokasi menunjukkan ketidakpastian aparat
keamanan melakukan pengamanan. Hal ini menunjukan bahwa tindakan pengamanan
yang dilakukan aparat pada lokasi kerusuhan tidak efektif, karena sebagian
besar tindakan yang dilakukan tidak efektif.
Dari banyaknya kerugian yang dialami
dan banyaknya korban menunjukkan bahwa aparat keamanan tidak efektif mengatasi
situasi saat itu, karena tidak terlihatnya aparat dibeberapa lokasi kerusuhan,
bahkan aparat cenderung membantu peristiwa tersebut. Karena saat terjadinya
kerusuhan tidak lepas kendali dari perintah komando, dan telah ada kebijakan
aparat untuk membiarkan kerusuhan terjadi yang menggunakan fasilitas dan
sumber-sumber publik, dengan cara :
a. Tidak mengerahkan pasukan secara
patut sehingga banyak daerah yang tidak diamankan.
b. Pasukan yang ada dilokasi tidak
melakukan tindakan apapun saat kerusuhan terjadi.
c. Pasukan meninggalkan lokasi
kerusuhan.
d. Pasukan tidak bergerak ke lokasi
kerusuhan yang jaraknya relative dekat.
Peristiwa kerusuhan Mei 1998 tidak
dapat dilepaskan dari konteks situasi dan dinamika politik Indonesia pada waktu
itu. Berbagai peristiwa yang terjadi saat itu penculikan sejumlah aktivis,
krisis ekonomi, demonstrasi mahasisswa yang terus-menerus, serta tewas
tertembaknya mahasiswa Trisakti. Tragedi yang terjadi di beberapa kota secara
bersamaan dengan memakan korban jiwa dan harta benda. Tidak terdapatnya aparat
diberbagai lokasi kerusuhan membuat semakin menjadinya kerusuhan. Masyarakat
yang seakan mengamuk membuat semakin karut marut situasi saat itu. Banyaknya
massa membuat sebagian orang memanfaatkan situasi dengan memprovokasi sehingga
membuat massa semakin marah dan merusak semua yang ada di sekitar lokasi
kerusuhan. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Djayadi Hanan selaku expert
opinion, yaitu :
Memang ada dugaan sekelompok orang
melakukan provokasi agar demonstrasi besar-besaran mahasiswa dan masyarakat
umum saat itu berubah menjadi kerusuhan. Diduga kuat provokasi tersebut
diorganisir oleh aparat negara, terutama tentara, karena mereka berkepentingan
untuk membuat demonstrasi damai itu menjadi rusuh agar terjadi kesan bahwa
peristiwa tuntutan masyarakat dan mahasiswa bukanlah bersifat politik tetapi
kriminal. Bila kerusuhan terjadi, tentara punya alasan untuk mengambil alih
situasi dan memegang kendali kekuaasaan. Dengan demikian tidak saja rejim
penguasa dapat dipertahankan tetapi tentara/aparat juga menjadi pemegang
kekuasaan politik bila terjadi pergantian kekuasaan saat itu.
Dari banyaknya data yang didapat
dilapangan, dan beberapa nama yang diduga sebagai orang yang bertanggung jawab
atas terjadinya Peristiwa Kerushan Mei 1998. Komnas HAM membuat laporan dan
pemanggilan kepada nama-nama tersebut untuk dilakukan penyidikan oleh
kejaksaan, tetapi kejaksaan belum melakukan penyidikan tersebut sampai saat
ini. Bahkan Komnas HAM pun sudah membut surat rekomendasi kepada DPR untuk
menindak lanjuti kasus Pelanggaran HAM yang berat pada Kerusuhan Mei 1998.
Komnas HAM pun sudah membuat surat untuk presiden dan mendesak untuk segera di
selesaikan. Tapi, sampai saat ini belum ada langkah serius pemerintah untuk
menyelesaikannya. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Djayadi Hanan selaku
expert opinion, yaitu :
Pemerintah tampak memiliki
keengganan karena aparat yang diduga kuat menjadi penanggungjawab kasus
tersebut masih memiliki kekuasaan atau berhubungan erat dengan jaringan
kekuaasaan di tingkat nasional. Hampir di semua partai politik, sejumlah mantan
tentara memegang peran kunci. Mereka ini tentu akan berusaha melindungi
teman-teman korps mereka dari proses hukum. Karena itu dari segi politik temuan-temuan
dari Komnas HAM kurang mendapat dukungan untuk ditindaklanjuti secara nyata. Di
samping itu, sejumlah nama yang diduga kuat terlibat bahkan ikut menjadi dalang
peristiwa tersebut juga masih memegang kendali kekuasaan atau memegang jabatan
tinggi. Tentu akan sulit untuk memproses secara sungguh-sungguh peristiwa
tersebut karena yang ada dalam lingkaran kekuasaaan akan terus menghalangi
proses pengungkapan dan penyelesaiannya secara menyeluruh.
C. Dampak
Peristiwa Mei 1998
Peristiwa berdarah yang terjadi pada
tanggal 12-14 Mei 1998 telah membawa luka yang mendalam bagi seluruh bangsa
Indonesia, terutama bagi keluarga yang ditinggalkan. Terlepas dari kepedihan
dan kepiluan akibat kejadian tersebut, namun kiranya ada sisi lain yang telah
menjadi dampak dan membawa bangsa Indonesia jatuh dalam jurang keterpurukan.
Dampaknya bukan hanya dialami dalam bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial,
budaya dan militer, akan tetapi juga telah menghancurkan tatanan kehidupan
bangsa dan negara Indonesia yang sudah mapan. Hancurnya kemapanan itu ditandai
dengan lengsernya Presiden Soeharto sebagai penguasa Orde Baru pada tanggal 21
Mei 1998, situasi dan kondisi pun berubah menjadi semrawut dan serba
ketidakpastian dan terkesan tanpa aturan dan arah yang jelas kemana bangsa ini
akan dibawa.
Tapi dengan lengsernya Soeharto
tidak berarti seluruh jajaran Orde Baru bersih dari pemerintahan. Golkar dengan
cerdik mentransformasi diri menjadi Partai Golkar di bawah pimpinan Ir. Akbar
Tandjung dan menghapuskan Dewan Pembina yang selama ini mengaitkan diri pada
mantan Presiden Soeharto dari struktur organisasi. Demikian juga seluruh
jajaran ABRI yang segera mengubah namanya kembali menjadi TNI dengan paradigm
baru. Beberapa tokoh Golkar dan Purnawirawan perwira tinggi TNI memasuki
partai-partai politik lainnya, dan menyatakan dirinya reformis, malahan ada
yang mendirikan partai politik yang baru.
Penghapusan KKN juga yang menjadi
salah satu tuntutan atau agenda mahasiswa pada saat reformasi ternyata hanya
menjadi lip service belaka, bukannya
berkurang namun semakin menjadi-jadi. Baik pihak eksekutif, legislative maupun
yudikatif menggunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk memperkaya diri sendiri.
Segi sosial masyarakat juga
merasakan dampaknya dengan bertambahnya jumlah pengangguran setiap bulannya
yang mencapai angka lebih dari 40 juta tenaga kerja, yang membuat rakyat
semakin sengsara. Krisis moneter atau ekonomi yang telah berlangsung
bertahun-tahun ditambah inflasi telah membuat rakyat semakin miskin dan
menderita.
Perjudian, pelacuran, dan
kriminalitas berkembang pesat tanpa dapat dikendalikan, karena mendapatkan
perlindungan dari para penguasa, baik dari oknum-oknum Pemda maupun dari aparat
keamanan, polisi dan tentara. Kriminalitas dan aksi-aksi kekerasan telah menjadi
sesuatu hal yang biasa, dan akibat tidak adanya kepercayaan kepada aparat
keamanan, dan kebanyakan rakyat sudah bertindak sendiri dalam menghakimi para
pelaku kejahatan dengan cara-cara yang diluar nalar manusia. Hukum seakan-akan
telah diabaikan karena rakyat sudah tidak percaya kepada aparat penegak hukum
baik polisi, jaksa maupun para hakim.
Situasi keamanan di dalam negeri
sangat memprihatinkan. Berbagai konflik horizontal antar etnis dan agama
seperti di Jawa (Situbondo, Pekalongan, Rengasdengklok), Kalimantan Barat
(Sanggau Ledo dan Sambas), Kalimantan Tengah (Sampit), Sulawesi Tengah (Poso),
Maluku (Ambon dan Maluku Utara), Lombok (Mataram), NTT (Kupang), Papua Barat
(Merauke) berlangsung tanpa henti-hentinya (Benny G. Setiono, 2008: 1096).
Menghadapi situasi seperti ini,
sungguh menjadi beban yang sangat berat yang harus dipikul oleh rakyat
Indonesia. Konsep Reformasi yang dipelopori para mahasiswa yang kemudian
diambil alih para elit politik ternyata hanya bertujuan melengserkan Presiden
Soeharto saja, tanpa mereformasi sistem pemerintahannya. Para birokrat di
seluruh jajaran pemerintahan masih tetap para birokrat lama yang didominasi
Golkar dengan paradigma lamanya. Demikian juga dengan seluruh jajaran militer,
walaupun para pemimpin militer menyatakan telah melakukan reformasi dan
mempunyai paradigm baru. Tapi, dalam kenyataannya dalam menyelesaikan masalah,
masih tetap menggunakan cara-cara lama yaitu cara-cara militer yang penuh
kekerasan.
Dampak Negatif
- Agenda reformasi telah ditetapkan melalui berbagai ketetapan MPR dan berbagai produk perundang-udangan yang baru, tetapi setelah berlangsung lebih dari 12 tahun lamanya, terasa bahwa reformasi berjalan secara belum terarah.
- Bila dinilai kembali kepada kondisi sebelum reformasi maka tampak bahwa kekuasaan yang pada wkatu dulu bersifat otoriter, sekarang harus bersifat demoratis, pemerintahan yang terpusat harus menjadi desentralisasi. Pemerintahan yang bersifat tertutup dan penuh larangan serta pengawasan seharusnya lebih terbuka, transparan, serta kebebasan.
- Rasionalitas dan objektivitas telah tersisihkan sehingga muncul egoism, perseorangan maupun kelompok tanpa mengidahan etika, moral, norma, dan hukum yang ada. Politik kekerasanbanyak bermunculan dan berkembang mewarnai kehidupan baru dalam masyarakat sehingga sulit mengatasi maupun kehidupan bermasyarakat bangsa dan bernegara. Oleh karena itu, hal-hal seperti ini harus segera diatasi dan dihapuskan.
Dampak Positif
- Dampak positif reformasi dapat kita rasakan dan kita saksikan melalui berita-berita media massa, serta surat kabar dan internet maupun pendapat-pendapat pengamat bidangnya. Munculnya suasana baru yang bisa kita saksikan diantaranya terdapatnya kebebasan pers, kebebasan akademis, kebabasan berorganisasi dan lain-lain yang selama ini belum pernah ada, termasuk kebebasan pemikiran dalam memperjuangkan pembebasan tahanan politik maupun narapidana politik, hal ini bisa dinilai sebagai lambang dari suatu kebebasan berpolitik di Indonesia.
- Timbulnya kesadaran baru masyarakat bisa bertindak dan berbuat sesuatu serta melakukan perubahan-perubahan diantaranya pendobrakan atas rasa ketakutan berpolitik, terhadap proses pembodohan yang telah berlangsung hampir lebih dari tiga puluh tahun.
- Memang, sebelum gerakan reformasi dimulai maka semua orang merasakan kelemahan tidak bisa berbuat apa pun tanpa daya dan takut berpolitik, berpendapat, dan berbicara. Namum, dengan pengalaman baru bereformasi, masyarakat Indonesia, khususnya para mahasiswa, mulai sadar dan memiliki serta dapat memperjuangkan politik mereka yang benar-benar dapat membawa ke arah perubahan yang positif, kesadaran baru ini penting sekali artinya dalam rangka perjuangan selanjutnya menuju reformasi yang total dan menyeluruh.
Keuntuhan Hegemoni Orde Baru
Keberhasilan dan kejayaan yang dicapai oleh Soeharto
dengan rezim Orde Barunya nampaknya mengalami keruntuhan. Keburukan yang
dilakukan oleh rezim Soeharto mulai nampak ke permukaan semenjak rezim ini
mengalami kemunduran. Periode 1989-1998 merupakan masa tersulit yang harus dilalui
oleh rezim ini. Mulai dari tindakan pelanggaran HAM, pembungkaman pers, korupsi
yang sangat besar, utang luar negeri yang tinggi, dan krisis ekonomi.
Separatisme juga menjadi masalah tersendiri yang harus dihadapi oleh Soeharto
ketika Aceh dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka)-nya ingin memisahkan diri dari
Republik Indonesia.
Setelah kematian isterinya pada 1996 kesehatan
Soeharto mulai menurun. Dia pernah mendapatkan perawatan di Jerman. Kurs dan
harga di lantai bursa juga mengalami dampak akibat kesehatan Soeharto yang
memburuk tersebut. Indonesia mengalami krisis ekonomi yang cukup dahsyat.
Krisis yang dialami oleh Thailand pada Juli 1997 juga berdampak terhadap
negara-negara di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pada akhir 1997,
krisis ekonomi yang dialami Indonesia berakibat pula terhadap suasana politik
Indonesia. Soeharto mengambil langkah dengan menandatangani perjanjian
pemberian utang dengan IMF (International Monetary Fund).
Beberapa hari sebelum kejatuhan Soeharto merupakan
hari-hari terpanjang yang harus dilaluinya. Tuntutan reformasi dari rakyat
terus menggema. Demonstrasi terjadi diberbgai daerah. Terjadi sebuah insiden
ketika penembak jitu ABRI menembak empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12
Mei. Lebih dari seribu orang tewas dalam kerusuhan yang terjadi di Jakarta pada
13-15 Mei. Suasana negeri ini semakin tidak kondusif.
Soeharto yang kala itu menghadiri sebuah konferensi di
Kairo memutuskan untuk segera kembali ke tanah air pada 15 Mei 1998. Tiga hari
berselang, Harmoko, yang kala itu menjabat sebagai ketua MPR, secara
terang-terangan meminta kepada Soeharto untuk mengundurkan diri. MPR dan ABRI
pun mendukung segera diadakannya sidang istimewa guna memilih presiden yang
baru. Nampaknya usaha yang dilakukan oleh mahasiswa untuk menggulingkan
Soeharto dari kursi kepresidenannya kala itu telah mendapatkan dukungan dari
pejabat tinggi pemerintahan.
Kajatuhan Soeharto nampaknya tak bisa dihindarkan
lagi. Pada 21 Mei pukul sembilan pagi bertempat di Istana Merdeka, dia
menyatakan pengunduran dirinya. Presiden kedua Indonesia tersebut mengeluarkan
pernyataan: “Saya berpandangan bahwa sangat sulit bagi saya untuk melaksanakan
tugas-tugas pemerintahan saya. Saya memutuskan untuk berhenti sebagai Presiden
Republik Indonesia.” B.J. Habibie yang kala itu menjabat sebagai wakil presiden
ditunjuk untuk menggantikannya memegang pimpinan tertinggi negara ini.
Indonesia mengalami masa-masa reformasi dibawah
presiden baru, B.J. Habibie. Dia mulai menata kembali kehidupan negeri ini. Ada
beberapa hal pokok yang harus dilakukannya. Masa depan ekonomi dan
kesejahteraan rakyat, ABRI, dan wilayah-wilayah konflik menjadi fokus yang
harus segera ia selesaikan. Sementara itu, masalah penyelesaian kasus yang
dihadapi oleh Soeharto dengan berbagai hal yang telah dilakukannya berjalan
lambat. Hal tersebut memunculkan ketidakpuasan besar dikalangan pendukung
reformasi. Periode rezim Orde Baru hingga kejatuhannya memang menjadi periode
kelam dalam perjalanan negara ini setelah menyatakan kemerdekaannya. Banyak hal
yang telah dilakukan oleh rezim terlama yang pernah ada di negeri ini guna
mempertahankan kekuasaannya tanpa menghiraukan adanya pihak lain yang berada
diluar rezim tersebut.
#Sumber referensi
http://sejarahakademika.blogspot.co.id/2013/11/peristiwa-mei-1998-sebagai-tonggak
http://pre14.deviantart.net/cce9/th/pre/f/2011/211/8/0/orde_baru_by_tigerpanzer-d427hq0