Pendahuluan
Penting untuk kita ingat dan kita catat bahwa strukturalisme
adalah suatu paradigma dalam antropologi seperti yang telah dikemukakan oleh
Levi-Strauss. Ada beberapa pemikiran teori yang juga dapat membangun pemahaman
struktural menurut fokus perhatian dan arah yang berbeda. Tentu dalam hal ini
kita harus kembali menyinggung konstribusi besar dari Emile Durkheim, Marcell
Mauss, Ferdinand de Saussure dan ahli linguistik Swiss yang mengembangkan pendekatan
struktural dalam bahasa.
Pusat perhatian lain yang penting dalam strukturalisme
adalah ritual. Fungsionalis seperti Malinowski dan Radcliffe-Brown mengadopsi
pernyataan Durkheim bahwa agama merefleksikan struktur dari sistem sosialnya
dan fungsi untuk memelihara sistem tersebut dari masa ke masa.
Variasi mite-mite sebagaimana yang dituturkan oleh
orang-orang di sekitar dipandang dapat mencerminkan perbedaan-perbedaan
sistem-sistem sosial mereka. Sistem politik yang terpusat diasosiasikan dengan
keyakinan pada Tuhan Yang Maha Tinggi, yang kurang memiliki makhluk-mahkluk
yang lebih rendah sebagai perantara dirinya dengan manusia biasa. Sistem
tersebut tidak tersentralisasi namun akan diasosiasikan dengan agama-agama di
mana terdapat sejumlah dewa dengan status yang setara. Secara khusus,
masyarakat yang berasaskan garis keturunan (lineage-based) seperti masyarakat
Nuer dan Tallensi dapat dikaitkan dengan pemujaan nenek moyang.
Di Eropa, para antropolog yang lebih dekat hubungannya
dengan Durkheim mengikuti proposisi bahwa suatu sistem kepercayaan dalam
kebudayaan memiliki logika internal yang memberikan makna bagi tindakan ritual.
Seperti halnya aliran Inggris, mereka bereaksi terhadap penulis-penulis
sebelumnya yang menafsirkan adat sebagai survival dari yang dianggap
tahap-tahap sebelumnya dalam evolusi sosial manusia.
Antropolog Inggris berpendapat bahwa kehadiran setiap adat
seharusnya dijelaskan dalam konteks efek kontemporernya terhadap sistem sosial.
Para penulis seperti Hertz (1960 dan van Gennep 1960 berpendapat bahwa makna
setiap adat harus diangkat dideduksi dari tempatnya dalam struktur kognitif.
Dalam tulisannya, The Preeminence of the right hand. Hertz, mendokumentasikan
suatu kecenderungan umum di antara banyak kebudayaan untuk mengasosiasikan
tangan kanan dengan kekuatan dan keteraturan, sementara tangan kiri dengan
kekacauan dan kelemahan. Ia menyimpulkan bahwa oposisi struktural antara kanan
dan kiri bermakna bagi oposisi yang lebih umum antara benar dan salah. Ia
menganggap hal ini sebagai satu kasus kecenderungan umum bagi kebudayaan
primitif untuk berpikir dalam oposisi dualistik. Dalam konteks biologi suatu
kecenderungan statistik bagi banyak orang yang menggunakan tangan kanan dominan
akan lebih benar daripada yang menggunakan tangan kiri ditransformasikan oleh
kebudayaan ke dalam oposisi mutlak yang terisi oleh makna dalam suatu upacara.
Upacara yang berkembang dalam masyarakat telah menjadi kebutuhan dan dijadikan
sebagai kegiatan ritual dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam wacana ini penulis ingin mengemukakan upacara yang
dilaksanakan oleh masyarakat Aceh dalam menyambut kelahiran anak pertama.
Kelahiran manusia dapat dijelaskan dengan pengertian akan kelahiran
subtansi-subtansi infrahuman yang dianggap materil bagi kelangsungan kehidupan
bermasyarakat.
Perspektif
Antropologi Terhadap Upacara
Upacara merupakan rangkaian kegiatan ritual masyarakat,
dalam buku the Rites of Passage (van Gennep) berpendapat bahwa kejadian dalam
kehidupan manusia terbagi atas tiga bagian. Ia yakin terdapatnya kecenderungan
pada manusia untuk mengonsepsikan perubahan status sebagai suatu model
perjalanan dari satu kota atau negeri kekota atau kenegeri yang lain,
sebagaimana dikatakannya suatu teritorial passage.
Perjalanan teritorial meliputi tiga aspek yaitu pemisahan
dari tempat asal, peralihan dan penggabungan ke dalam tujuan. Seperti halnya
oposisi antara tangan kanan dan tangan kiri bisa berlaku lebih umum, oposisi
moral. Dengan demikian perjalanan teritorial dapat berlaku bagi setiap
perubahan status dalam masyarakat. Ritual kelahiran, memasuki masa dewasa,
kematian, semuanya memiliki struktur yang sama. Sebagaimana ditekankan van
Gennep ia ingin mengangkat ekstraksi berbagai ritus dari seperangkat upacara
seremoni dan menanggapi ritus-ritus tersebut terisolasi dan mengangkatnya dari
konteks yang memberi makna kepadanya dan menunjukkan posisinya dalam
keseluruhan dinamika.
Masyarakat Aceh banyak mengenal berbagai macam upacara,
setiap upacara identik dengan acara makan-makan yang seringkali berlangsung
setelah acara seremonialnya atau dinamakan dengan kanduri. Sekarang ini upacara
yang tetap berlangsung dalam masyarakat Aceh di antaranya adalah : upacara turun
ke sawah, upacara tolak bala, upacara perkawinan, upacara kehamilan anak
pertama, upacara kematian dan lain-lain.
Upacara-upacara tersebut masih dipertahankan karena
dibutuhkan oleh masyarakat, untuk memenuhi tuntutan adat. Menurut masyarakat
Aceh, adat harus dijalankan dan dipenuhi, selain itu kita harus mematuhinya
juga. Seperti pepatah Aceh menyebutkan bahwa : Matee aneuk meupat jeurat, matee
adat pat tamita.
Pepatah ini mengibaratkan bahwa adat dengan anak itu
diposisi yang sama-sama penting, apabila anak yang meninggal itu masih ada
bekasnya yaitu kuburan sedangkan apabila adat yang hilang kita tidak tahu ke
mana mesti kita mencarinya. Ungkapan tersebut juga merupakan wujud kesadaran
masyarakat tentang pentingnya adat-istiadat, yang telah memberikan sumbangan
yang tidak ternilai harganya terhadap kelangsungan kehidupan sosial budaya
masyarakat di Aceh. Bahkan bagi kalangan masyarakat Aceh, adat telah mendapat
tempat yang istimewa dalam perilaku sosial dan keagamaannya. Begitulah makna
adat yang dipahami oleh masyarakat Aceh sejak zaman kerajaan hingga sampai
sekarang ini, apabila pada satu moment kita tidak menjalankan adat atau berupa
upacara yang telah ditentukan maka yang bersangkutan merasa sedih dan dirinya
merasa sangat terhina karena tidak dihormati secara adat yang berkembang dalam
masyarakat Aceh. Salah satu contoh adalah upacara sebelum dan sesudah kelahiran
bayi, banyak sekali rangkaian upacara-upacara adat yang akan dilaksanakan.
Semua itu erat kaitannya dengan adat istiadat Aceh dan juga tidak bertentangan
dengan kaedah-kaedah yang dianjurkan dalam ajaran Islam.
Adat Aceh Apabila
Istri Dalam Keadaan Hamil
Seorang isteri pada saat hamil anak pertama, maka sudah
menjadi adat bagi mertua atau maktuan dari pihak suami mempersiapkan untuk
membawa atau mengantarkan nasi hamil kepada menantunya. Acara bawa nasi ini
disebut ba bu atau mee bu.
Upacara ini dilaksanakan dalam rangka menyambut sang cucu
yang dilampiaskan dengan rasa suka cita sehingga terwujud upacara yang sesuai
dengan kemampuan maktuan. Nasi yang diantar biasanya dibungkus dengan daun
pisang muda berbentuk pyramid, ada juga sebahagian masyarakat mempergunakan
daun pisang tua. Terlebih dahulu daun tersebut dilayur pada api yang merata ke
semua penjuru daun, karena kalau apinya tidak merata maka daun tidak kena layur
semuanya.
Sehingga ada mitos dalam masyarakat Aceh kelak apabila anak
telah lahir maka akan terdapat tompel pada bahagian badannya. Di samping nasi
juga terdapat lauk pauk daging dan buah-buahan sebagai kawan nasi.
Barang-barang ini dimasukkan ke dalam idang atau kateng (wadah). Idang ini
diantar kepada pihak menantu perempuan oleh pihak kawom atau kerabat dan jiran
(orang yang berdekatan tempat tinggal).
Upacara ba bu atau Meunieum berlangsung dua kali. Ba bu
pertama disertai boh kayee (buah-buahan), kira-kira usia kehamilan pada bulan
keempat sampai bulan kelima. Acara yang kedua berlangsung dari bulan ketujuh
sampai dengan bulan kedelapan. Ada juga di kalangan masyarakat acara ba bu
hanya dilakukan satu kali saja. Semua itu tergantung kepada kemampuan bagi yang
melaksanakannya, ada yang mengantar satu idang kecil saja dan adapula yang
mengantar sampai lima atau enam idang besar. Nasi yang diantar oleh mertua ini
dimakan bersama-sama dalam suasana kekeluargaan. Ini dimaksudkan bahwa
perempuan yang lagi hamil adalah orang sakit, sehingga dibuat jamuan makan yang
istimewa, menurut adat orang Aceh perempuan yang lagi hamil harus diberikan
makanan yang enak-enak dan bermanfaat.
Dalam ilmu kesehatanpun memang dianjurkan untuk kebutuhan
gizi cabang bayi yang dikandungnya, namun apabila itu tidak dituruti maka
berakibat buruk pada anak yang dikandungnya kalau istilah bahasa Aceh roe ie
babah (ngences). Masyarakat Aceh upacara bawa nasi suatu kewajiban adat yang
harus dilakukan, sampai saat sekarang masih berlangsung dalam masyarakat. Lain
halnya pada Masyarakat suku Aneuk Jamee Kabupaten Aceh Selatan terdapat adat bi
bu bidan (memberi nasi untuk ibu bidan) maksudnya seorang anak yang baru kawin
dan hamilnya sudah 6 bulan sampai 7 bulan maka untuk anak tersebut sudah dicarikan
ibu bidan untuk membantu proses kelahirannya. Pada upacara kenduri dimaksud
kebiasaan masyarakat, ibu bidan akan dijemput oleh utusan keluarga ke rumah
bidan lalu dibawa kerumah yang melakukan hajatan. Acara serah terima, melewati
beberapa persyaratan antara lain :
1. Pihak keluarga yang melakukan hajatan mendatangi ibu
bidan dengan membawa tempat sirih (bate ranub) sebagai penghormatan kepada ibu
bidan dan sebagai tanda meulakee (permohonan).
2. Setelah ibu bidan hadir di rumah hajatan, maka keluarga yang
melakukan permohonan tersebut dengan acara adat menyerahkan anaknya yang hamil
tersebut agar diterima oleh bidan sebagai pasiennya.
3. Sebagai ikatan bagi bidan pihak keluarga menyerahkan
seperangkap makanan yang sudah dimasak, untuk dibawa pulang ke rumah bidan,
lengkap dengan lauk pauknya sesuai dengan kemampuan keluarga yang melakukan
hajatan disertai juga dengan menyerahkan selembar kain dan uang sekedarnya.
Acara puncak bi bu bidan adalah kenduri dengan didahului
pembacaan tahlil dan doa, acara tersebut biasanya dilakukan pada jam makan
siang dan ada juga pada malam hari setelah shalat Isya. Setelah upacara selesai
maka ibu bidan diantar kembali ke rumahnya, mulai saat itu anaknya yang hamil
telah menjadi tanggungjawabnya ibu bidan.
Pada saat bayi telah lahir disambut dengan azan bagi anak
laki-laki dan qamat bagi anak perempuan. Teman bayi yang disebut adoi (ari-ari)
dimasukkan ke dalam sebuah periuk yang bersih dengan disertai aneka bunga dan
harum-haruman untuk ditanam di sekitar rumah baik di halaman, di samping maupun
di belakang. Selama satu minggu tempat yang ditanam ari-ari tersebut dibuat api
unggun, hal ini untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan
seperti : Adanya orang ilmu hitam yang memanfaatkan benda tersebut, tangisan
bayi diwaktu malam dan dari serangan binatang pemangsa seperti anjing. Pada
hari ke tujuh setelah bayi lahir, diadakan upacara cukuran rambut dan peucicap,
kadang-kadang bersamaan dengan pemberian nama. Acara peucicap dilakukan dengan
mengoles manisan pada bibir bayi disertai dengan ucapan :
” Bismillahirahmanirrahim, manislah lidahmu, panjanglah
umurmu, mudah rezekimu, taat dan beriman serta terpandang dalam kawom”.
Pada saat inilah bayi telah diperkenalkan bermacam rasa di
antaranya asam, manis, asin. Ini merupakan latihan bagi bayi untuk mengenal
rasa, bisa dia bedakan antara satu rasa dengan rasa yang lainnya. Sebelumnya,
bayi hanya mengenal ASI eklusif yang dia dapatkan dari ibunya.
Pada zaman dahulu upacara turun tanah dilakukan setelah bayi
berumur satu sampai dua tahun, bagi kelahiran anak yang pertama upacaranya
lebih besar. Namun untuk saat sekarang ini masyarakat tidak mengikutinya lagi,
apalagi bagi ibu-ibu yang beraktifitas di luar rumah seperti pegawai negeri,
pegawai perusahaan, dan karyawati di instansi tertentu. Ke luar rumah sampai
satu tahun dan dua tahun itu dianggap tidak efisien dan tidak praktis lagi.
Bagi ibu-ibu pada zaman dahulu, selama jangka waktu satu atau dua tahun
tersebut mereka menyediakan persiapan-persiapan kebutuhan upacara.
Pada saat upacara tersebut, bayi digendong oleh seorang yang
terpandang, baik perangai dan budi pekertinya. Orang yang mengendong tersebut
memakai pakaian yang bagus maka sewaktu bayi diturunkan dari rumah, bayi
dipayungi dengan sehelai kain yang dipegang pada setiap sudut kain oleh empat
orang. Di atas kain tersebut dibelah kelapa, dengan makksud agar bayi tidak
takut mendengar bunyi petir. Belahan kelapa dilempar kepada sanak famili dan
wali karongnya. Salah seorang keluarga bergegas-gegas menyapu tanah dan yang
lainnya menampi beras, ini dilakukan apabila bayinya perempuan. Namun apabila
bayinya laki-laki, maka yang harus dikerjakan adalah mencangkul tanah,
mencincang batang pisang atau tebu, memotong rumput, naik atas pohon seperti :
pinang, kelapa, mangga, dll. Pekerjaan ini dimaksudkan agar anak perempuan
menjadi rajin dan bagi laki-laki menjadi ksatria. Setelah semua selesai,
selanjutnya bayi ditaktehkan (diajak berjalan) di atas tanah dan akhirnya
dibawa keliling rumah sampai bayi dibawa pulang kembali dengan mengucapkan
assalamualaikum waktu masuk ke dalam rumah.
Analisis Perubahan
dan Pergeseran dalam konteks Kekinian
Untuk saat sekarang ini upacara menyambut kelahiran anak
pertama, telah terjadi perubahan. Perubahan adat yang terjadi hanya sedikit
saja namun tidak pernah bergeser dari makna yang telah tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat Aceh. Di sini penulis dapat mengutarakan bahwa inti rangkaian
upacara ini adalah symbol dari suka cita. Ini dilatarbelakangi oleh rasa
bahagia yang ada pada pasangan suami isteri yang baru berumah tangga, begitu
juga bagi kedua orang tua mereka yang sudah menanti-nanti kehadiran cucunya.
Salah satu pergeseran budaya dari upacara ini, misalnya sekarang ini bawa nasi
ada sebahagian masyarakat mengantikan dengan bawaan mentah yaitu uang.
Hal yang demikian sudah sering kita dengar dari masyarakat
Aceh, ini disebabkan oleh beberapa hal di antaranya karena mertuanya jauh,
tidak ada yang masak. Ini mereka anggap menyulitkan dan juga merepotkan., jadi
mereka mengambil jalan yang praktisnya yaitu mengasihkan uang senilai hantaran
nasi yang mau dibawa. Terlebih dahulu ini telah menjadi kesepakatan antara
orang tua kedua belah pihak, baik pihak isteri maupun suami, sehingga tidak
menimbulkan permasalahan. Namun peraturan ini tidak berlaku bagi sama-sama
besan yang berdekatan, bagi mereka diharuskan untuk menjalankan adat tersebut.
Waktu pelaksanaan bawa nasipun, sekarang telah banyak berubah, masyarakat Aceh
zaman dahulu melakukan sampai dua kali, namun sekarang ini telah dipraktiskan
dengan sekali hantaran saja. Perubahan ini, masyarakat menganggap biasa dan
lebih praktis baik dari segi waktu dan kerja.
Namun diharapkan upacara ini janganlah sampai hilang, karena
upacara ini telah menjadi bahagian dari adat Aceh yang harus kita lestarikan.
Dari upacara ini terwakili beberapa nilai ketauladanan, di antaranya nilai
penghormatan dan nilai kebersamaan dalam menyambut kebahagian. Kebahagian yang
ada tidak hanya dinikmati terbatas pada keluarga itu saja, akan tetapi
dirasakan juga oleh tetangga maupun saudara sekampung yang menghadiri undangan
dalam acara makan tersebut.
Ketika bayi sudah lahir kebiasaan-kebiasaan masyarakat pada
zaman dulu banyak yang sudah ditinggalkan. Mereka telah mengikuti
anjuran-anjuran dari bidan rumah sakit tempat mereka melakukan persalinan,
misalnya bayi yang baru lahir tidak boleh diberikan makanan. Kebiasaan dulu
bayi yang baru lahir langsung diberikan pisang, kalau di Aceh biasanya pisang
wak (pisang monyet) kebiasaan-kebiasaan ini telah berubah.
Perubahan yang terjadi dipengaruhi oleh kesadaran masyarakat
untuk melahirkan pada bidan rumah sakit, tidak lagi pada bidan kampung. Pergeseran
budaya ini telah ada, namun bidan-bidan kampung tetap difungsikan untuk
mengurus bayi dan ibunya. Walaupun bidan kampung, sebahagian di antara mereka
telah mendapatkan pelatihan dari bidan rumah sakit, sehingga dia dalam mengurus
bayi dan ibunya tidak menyimpang dari anjuran rumah sakit.
Upacara turun tanah, disimbolkan pada kesucian ibu bayi yang
baru saja melewati masa persalinan. Dalam prosesi upacara ini juga melibatkan
bayi yang baru lahir, di mana pada saat upacara berlangsung bayi dibawa ke luar
rumah. Ibu yang baru melahirkan dianggap tidak suci lalu tidak dibolehkan untuk
ke luar rumah, disebabkan karena dia dalam keadaan masa nifas, haids dan
wiladah.
Pada saat turun tanah di sinilah puncaknya bahwa dia telah
suci terbebas dari darah kotor sehingga dia telah boleh ke luar rumah. Begitu
juga dengan bayinya, sebetulnya bayi yang belum berumur satu bulan masih
dianggap rentan dengan penyakit sehingga bayi tidak dibolehkan untuk ke luar
rumah kecuali dalam keadaan terpaksa apa dia sakit dan sebab lainnya yang
sangat mendesak.
Namun, pada saat upacara turun tanah pertama sekali bayi
mengenal dunia luar. Di sinilah bayi diajarkan dengan dunia luar, di mana kita
itu harus giat bekerja dan jangan malas-malasan, karena kalau sifatnya malas
akan berakibat buruk bagi kehidupannya kelak. Rangkaian dari upacara ini adalah
proses pembelajaran sehingga dapat kita ambil iktibar dalam kehidupan kita
sehari-hari, adat istiadat yang terdapat dalam suatu upacara harusnya tetap
dilestarikan karena adat merupakan salah satu cerminan dari budaya bangsa.
Penutup
Adat menyambut kelahiran anak adalah kebiasaan masyarakat
Aceh dengan mengadakan upacara yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada
dalam ajaran Islam. Ketentuan tersebut telah menjadi kepercayaan dan tradisi
orang-orang tua yang dilakukan pada masa dahulu.
Serangkaian upacara tersebut seperti ba bu (bawa nasi ),
cuko oek (cukur rambut), peucicap (memberi rasa makanan), akikah dan turun
tanah dinilai penting dan bermakna dalam kehidupan, sehingga perlu untuk
dijalankan sesuai dengan ketentuan adat yang telah ditetapkan. Di zaman serba
modern sekalipun, kegiatan ritual ini akan menjadi aset wisata budaya. Zaman
boleh saja modern, namun adat dan budaya jangan sampai hilang, jadi kita
berusaha bagaimana adat dan budaya tersebut tetap tampil disesuaikan dengan
perkembangan zaman.
#sumber referensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar