Pendahuluan
Setiap kebudayaan yang dibicarakan seiring dengan agama,
bermakna bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang berkaitan dengan manusia sebagai
makhluk, sedangkan agama adalah sesuatu yang diberikan Allah. Perbedaan
konseptual yang sebenarnya belum dapat dikompromikan, meskipun dapat saja
dikatakan bukankah yang percaya kepada Tuhan itu juga manusia.
Apabila agama dan kebudayaan berada dalam analisis yang
berbeda, maka kebudayaan dan masyarakat adalah dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Dengan demikian, harus disadari bahwa masyarakat adalah hasil
konseptualisasi, bukan realitas sesungguhnya. Secara konseptual masyarakat
muncul karena kumpulan individu-individu dan masyarakat kemudian menghasilkan
simbol-simbol.
Kebudayaan Islam mempunyai dua aspek. Pertama, simbol-simbol
yang terpancarkan dari ajaran agama yang abadi dan universal kepada para
penganutnya.. Agama yang abadi dan universal itu kemudian memberikan jembatan
antara ajaran dengan kesadaran dan membebaskan manusia secara spiritual dan
intelektual dari keterikatannya pada tempat, waktu, dan struktur objektif yang
mengitarinya. Dengan demikian, kebudayaan Islam adalah usaha penterjemahan
agama ke dalam konteks zaman dan lokalitas. Aspek kedua, agama adalah sebagai
inspirasi kultural dan estetik. Ajaran agama yang diwahyukan adalah wilayah
intelektual dan spiritual yang terbatas. Ada wilayah yang menjadi rahasia Tuhan
dan wilayah yang dapat dimasuki oleh manusia. Dari inspirasi kultural dan
estetik itu muncul berbagai budaya.
Berkaitan dengan studi yang berkaitan dengan masyarakat
Islam, dapat didekati dari tiga sudut pendekatan yang setiapnya menampilkan
wujud Islam dalam gambar yang berbeda. Ketika pendekatan itu dikenal dengan
Islam Normative, Islam Interpretatif, dan Islam Practice. Islam normative
adalah sebagaimana yang dirinci dalam Alquran dan Hadist. Islam interpretative
yang difahami dan diinterpretasikan oleh para ulama Islam terhadap Alquran dan
Hadist. Sementara Islam practice sebagaimana terwujud dalam dalam bentuk
prilaku umat Islam, baik aktivitas sehari-hari maupun aktivitas budaya umat
Islam.
Dalam kerangka metodologi Antropologi melihat prilaku ritual
dan aktivitas budaya umat Islam. Apa makna yang dapat difahami dari seluruh
simbol-simbol dari upacara budaya umat Islam. Data-data yang diperoleh
diinterpretasikan dan mengkonstruksikan data tersebut ke dalam makna-makna
khusus.
Demikian halnya yang terjadi pada salah satu upacara
masyarakat Islam di Aceh terutama di pantai selatan dan barat, yaitu upacara
kematian. Secara normativ, upacara itu hanya meliputi empat hal, yaitu
memandikan, menkafankan, mensalatkan, dan menguburkan. Namun kemudian
berkembang menurut zaman, situasi dan kondisi. Oleh karena itu, tulisan ini
mencoba melihat, sejauhmana pengaruh interpretatif dan praktis terhadap upacara
tersebut. Selanjutnya berusaha melihat kemungkinan-kemungkinan yang dapat
dilakukan untuk memaknai dan interpretasi terhadap upacara tersebut. Masih
relevankah dengan situasi dan kondisi masa kini serta adakah melakukan
refungsionalisasi terhadapnya.
Deskripsi dan
Analisis Upacara
Upacara kematian adalah seperangkat upacara yang dilakukan
mulai orang meninggal hingga proses penguburan. Kegiatan-kegiatan itu mulai
dari meninggal, membuat keranda, membuat kafan, memandikan mayat, dan
penguburan mayat di kuburan.
Suatu kebiasaan pada masyarakat Aceh apabila seseorang
sedang mengalami sakit parah maka semua kerabat diberitahukan supaya dapat
menjenguknya sebelum ia meninggal. Apabila tidak diberitahukan akan terjadi
ketidakharmonisan dalam hubungan keluarga, karena seakan-akan oleh keluarga
yang mengalami musibah itu tidak menghiraukan kerabatnya.
Apabila orang sakit parah itu sedang menghadapi maut
(sakratul maut), ahli famili yang duduk di sekelilingnya geu peu entat
(mengantarkan) dengan membisikkan ucapan Lailahaillallah pada telinga orang
yang sedang menghadapi maut. Hal itu dilakukan karena masyarakat Aceh
menganggap bahwa kalimat itu didengar dan diikuti oleh orang yang sedang
menghadapi mati walaupun tidak kedengaran. Apabila seseorang yang mati dengan
mengucapkan kalimat Lailahaillallah maka ia mati sebagai seorang muslim dan
masuk surga, sehingga geu peu entat itu merupakan keharusan bagi masyarakat
Aceh. Selain dengan kalimat Lailahaillallah, kadang kala juga dilakukan dengan
dengan pembacaan Surat Yasin dalam Alquran. Hal itu dimaksudkan apabila yang
sakit itu belum ajal maka akan disegerakan sembuhnya dan sebaliknya apabila
yang sakit itu sudah ajalnya maka akan disegerakan dan meninggal dengan
selamat. Setelah seseorang diyakini meninggal, maka mayat tersebut diletakkan
di atas suatu tempat dan ditutup dengan kain panjang.
Selanjutnya, salah seorang dari keluarganya datang
memberitahukan yang pertama-tama kepada teungku imam yang ada di kampung
kemudian kepada semua kerabat baik yang dekat maupun yang jauh. Pemberiatuan
kepada masyarakat gampong dilakukan oleh teungku meunasah atau orang lain
dengan memukul tambur sesuai dengan irama dan jumlah pukulan menurut kebiasaan.
Bunyi tambur untuk orang yang meninggal biasanya pukulan tambur sampai 7 ronde,
yaitu ronde pertama sebanyak tiga kali pukul, kemudian berhenti, kemudian
dipukul lagi tiga kali sampai dengan pukulan yang ketujuh. Apabila masyarakat
gampong mendengar yang demikian, mereka berbondong-bondong datang ke rumah di
tempat orang yang mati tersebut.
Setelah mereka berkumpul, seakan-akan aktivitas diambil alih
oleh teungku meunasah dan geucik. Tuan rumah hanya bertanggung jawab di bidang
material yang dibutuhkan dalam kegiatan itu. Pada saat itulah teungku meunasah
dan geucik mendistribusikan pekerjaan kepada warga gampong. Anak-anak muda
dikerahkan menggali kuburan, anak-anak perempuan dikerahkan mengangkut air
mandi mayat, orang yang lebih tua dikerahkan untuk membuat keureunda (peti
mayat) dan kafan.
Persiapan-persiapan yang dibutuhkan terutama kain kafan,
papan keureunda, kikisan kayu cendana, kemeyan, kapur barus, minyak wangi, dan
jenis bunga-bungaan yang harum. Hal itu dimaksudkan supaya mayat tersebut
menjadi wangi dan harum, yang akan menghadap sang penciptanya. Acara memandikan
mayat, buat keureunda, dan kafan sering dilakukan serentak dengan cara
pembagian tugas pada warga gampong. Masyarakat Aceh berkeyakinan bahwa
mempercepat penguburan mayat adalah lebih utama.
Mandi Jenazah
Acara mandi mayat dilakukan di rumah orang yang meninggal,
walaupun berjauhan dengan sumur atau sungai untuk mengambil air. Kalau acara
mandi tidak dilaksanakan di rumah, suatu keayiban pada kerabat yang
ditinggalkan, seakan-akan tidak begitu perhatian terhadap orang yang meninggal.
Bagi rumah yang berjauhan dengan sungai atau sumur maka dikerahkan tenaga
anak-anak muda untuk mengangkut air, biasanya pekerjaan ini dilakukan oleh
anak-anak perempuan. Akan tetapi rumah-rumah di gampong pada umumnya mempunyai
sumur dekat rumah.
Setelah persiapan-persiapan mandi disiapkan, maka teungku
membaca doa sambil meremas-remas air ramuan yang disebut dengan air sembilan.
Kemudian air diambil dengan baskom, lalu dituangkan oleh teungku kepada mayat
dengan sangat perlahan-lahan, agar tubuh mayat tidak terasa sakit atau
terkejut. Sebagian masyarakat Aceh beranggapan walaupun mayat sudah meninggal
tetapi ia masih merasa, selain itu juga diyakini bahwa menyakiti orang yang
sudah meninggal sama dengan menyakiti ketika ia masih hidup.
Anggota yang memandikan mayat terdiri atas kaum kerabat
ditambah dengan teungku. Apabila yang meninggal itu seorang perempuan maka yang
memandikan mayat itu semuanya perempuan. Setelah mayat dimandikan dengan air
biasa, kemudian teungku mengambil air sembilan yang berisi ramuan-ramuan
terutama jeruk purut dan lain-lain ramuan yang wangi lalu disiram pada tubuh
mayat sebanyak sembilan kali. Oleh sebab itu disebut dengan air sembilan.
Setelah itu mayat kembali disiram dengan air biasa.
Apabila kematian terjadi pada malam hari, dengan sendirinya
orang berjaga sampai pagi hari, dalam hal itu yang meninggal itu diberi senjata
untuk melawan jin-jin jahat berupa sebuah pisau kecil diletakkan di bawah
bantalnya, dan orang-orang yang berjaga di dekatnya, sementara sebuah lampu
dinyalakan di dekatnya. Penjagaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah jangan
sampai mayat disentuh oleh seekor kucing, sebagian masyarakat menganggap,
apabila mayat tersentuh kucing, roh yang mati akan menjelma menjadi hantu.
Kafan
Apabila mayat sudah dimadikan, kafan pun sudah disiapkan.
Bagi orang yang mampu kain kafan itu sampai tujuh lapisan, dan bagi yang biasa
hanya sampai tiga lapis saja. Kafan itu terdiri atas baju, celana, dan kain
pinggang, kemudian ditambah dengan tiga buah bantal yang diisi dengan daun
belimbing. Bantal itu diletakkan di kepala, pinggang dan di bagian lutut.
Bantal itu berfungsi sebagai penahan agar mayat dalam keureunda tidak goyang
atau terbalik.
Bentuk atau model kafan yang dipotong itu, tidak dijahit
seperti menjahit celana biasa, melainkan dengan cara membentuk saja menyerupai
celana, baju dan kain pinggang dengan cara memotong dengan gunting pada
ujungnya, kemudian dikoyak dengan tangan. Pengoyakan dengan tangan itu memang
suatu kebiasaan membuat kafan bukan berarti tidak dapat dipotong dengan
gunting. Setelah kafan dikenakan pada tubuh mayat, lalu diikat dengan tali.
Tali pengikat itu khusus dirobek dari pinggiran kain kafan tadi, bukan dengan
tali lain.
Salat Jenazah
Setelah mayat selesai dibungkus dengan kain kafan,
seterusnya mayat itu dimasukkan ke dalam keureunda (peti mayat). Keureunda yang
telah berisi mayat, kemudian dibungkus dengan kain panjang. Setelah peti mayat
itu dibungkus dengan kain, lalu peti mayat itu diusung bersama-sama ke meunasah
atau mesjid untuk disalatkan, apabila jauh dengan meunasah atau mesjid, akan
disalatkan di rumah. Anggota pengusung itu biasanya oleh kaum kerabat dari
orang yang meninggal. Selain itu, dibantu pula oleh warga gampong, sedangkan
yang lainnya mengikuti dari belakang.
Setelah sampai ke mesjid atau ke meunasah, mayat diletakkan
di muka sekali dengan posisi kepala mayat ke sebelah utara dan kaki ke sebelah
selatan.
Acara shalat jenazah dipimpin oleh teungku imeum dan diikuti
oleh para jamaah lainnya. Kadang-kadang oleh teungku menanyakan terlebih dahulu
pada keluarga yang meninggal, kalau ada di antara anggota keluarga itu untuk
menjadi imam. Setelah shalat mayat selesai adakalanya memberi sedekah kepada
orang yang ikut shalat mayat dan terkadang hanya kepada teungku saja.
Penguburan
Setelah jenazah siap untuk dikuburkan, maka pelaksanaannya
harus segera dilakukan. Mayat diusung bersama-sama ke kuburan. Orang-orang yang
mengusung terdiri atas keluarga yang meninggal, biasanya mengusung bagian
kepala dan kaki, kemudian dibantu oleh para warga gampong. Pengunjung yang lain
mengikuti dari belakang hingga ke kuburan. Di kuburan telah ditunggu oleh
mereka yang menggali kuburan tadi. Mereka itu terdiri atas anak-anak muda
gampong, yang dipimpin oleh seorang tua.
Setelah sampai ke lokasi kuburan, usungan mayat diletakkan
di pinggir lubang kubur. Kemudian mayat diangkat dengan perlahan-lahan sambil
dipayungi, terus dimasukkan ke dalam kubur. Semua ikatan bungkusan mayat tadi
dilepaskan. Tindakan itu dilakukan karena ada di antara masyarakat beranggapan
bahwa apabila mayat tidak dibuka ikatannya maka roh dari mayat itu akan menjadi
burong punyot (syaitan berbalut).
Setelah mayat dimasukkan ke dalam kubur dan ikatan dari
bungkus mayat yang diikat dari kafan tadi dilepas semua maka teungku dengan
mengucapkan bissmillah... sambil mengambil tanah satu genggam kemudian
menjatuhkan ke dalam kuburan dengan perlahan-lahan sekali. Kemudian baru
diikuti oleh orang lain untuk menimbun lubang kuburan itu dengan cara
perlahan-lahan pula. Hal itu dilakukan demikian sebagai penghormatan kepada
mayat. Selain itu, juga agar tubuh mayat jangan terasa sakit dengan benturan
tanah.
Setelah kuburan ditimbun dengan baik dan rapi dengan sedikit
gundukan tanah, lalu diberi tanda di kepala dan bagian kaki dengan pohon
tertentu, biasanya pohon jarak dan pohon pudeng atau yang lainnya, sebagai
tanda bahwa di tempat itu sudah ada kuburan atau sebagai tanda jangan bertukar
dengan kuburan lain, tanda itu masih bersifat sementara sebelum diganti dengan
batu nisan.
Selanjutnya, di atas kuburan disiram dengan air campur bunga
dan jeruk purut oleh teungku sebanyak tiga kali dari posisi kepala ke kaki.
Penyiraman itu dilakukan sebagai isyarat bahwa mayat itu sangat haus dan perlu
diberi minum, dan isyarat lain sebagai komando untuk membangunkan roh agar si
mati tahu bahwa ia telah mati. Kemudian teungku menyuruh hadirin untuk duduk
berdekatan atau berkeliling kuburan, lalu teungku membaca doa talkin.
Kemudian teungku membaca talkin, lalu teungku melanjutkan
dengan membaca doa selamat dan penutupan atas penguburan mayat dan kepada
hadirin diminta untuk menadahkan tangan ke atas sambil menyebut dengan sahutan
amiin. Setelah itu mereka pun pulan ke rumah masing-masing.
Setelah selesai acara penguburan mayat, keluarga yang
ditinggalkan biasanya menyiapkan suatu tempat khusus yang dihiasi dengan
belbagai perangkat tidur yang diperuntukkan kepada roh orang yang sudah
meninggal. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa roh orang yang sudah meninggal
itu masih kembali dan mengunjungi rumahnya, sehingga perlu disiapkan tempat
seperti itu sebagai perlambang juga bahwa ia telah meninggal.
Geumunjong
Suatu kebiasaan bahkan sudah menjadi suatu keharusan bagi
masyarakat, apabila seseorang meninggal, maka orang lain akan berkunjung ke rumah
orang yang meninggal tersebut. Hal itu dilkakukan sebagai rasa kebersamaan dan
ikut merasakan apa yang sedang dirasakan oleh orang yang terkena musibah.
Dalam kunjungan tersebut, biasanya orang memberi uang, atau
beras menurut kemampuan masing-masing. Acara geumunjong itu juga dimanfaatkan
sebagai ajang ukhuwah untuk saling mengunjungi. Tuan rumah biasanya hanya
memberi air minum berupa teh manis, kopi atau air putih.
Kenduri
Setelah selesai upacara penguburan mulai dari hari pertama
sampai dengan hari keenam mayat dalam kuburan, upacara-upacara yang dapat
digolongkan besar tidak diadakan. Dalam waktu-waktu itu acara hanya sekedar
dilakukan untuk memberi makan seorang atau beberapa orang pengikut teungku yang
melakukan samadiah setelah salat maghrib selama enam hari. Pemberian makan itu
dilakukan sebagai ganti memberikan makan kepada orang yang telah meninggal,
karena sebelum hari ketujuh dianggap roh orang mati itu masih tetap di rumah,
bersama keluarganya.
Adakalanya dalam waktu-waktu sebelum hari ketujuh itu
diadakan pula samadiah, tergantung permintaan dari keluarga yang meninggal.
Pada malam pertama sering dihidangkan dengan ie bu puteh (air nasi putih)
semacam dodol yang putih warnanya dibuat dari tepung. Pada malam ketiga dengan
kue pampi (kue bugis), malam keempat dengan cingkhui sejenis lontong, dan malam
kelima dengan kue putro manou (tepung bentuk bulat).
Sebelum kenduri ketujuh tiba, keluarga yang meninggal sudah
tampak sibuk menyediakan persiapan-persiapan. Persiapan itu dapat dibagi atas dua
macam, yaitu persiapan ringan berupa kue-kue dan persiapan untuk makan. Apabila
kenduri tujuh dilakukan secara besar terutama bagi orang yang mampu biasanya ia
menyembelih kambing bahkan kerbau pada siang harinya. Apabila pada hari ketujuh
itu tidak dilakukan upacara kenduri, masyarakat banyak membincang bahwa
seakan-akan keluarga orang yang meninggal tidak menghiraukan orang yang sudah
meninggal bahkan dianggap sama seperti hewan yang mati.
Pada malam yang ketujuh semua kerabat dan tetangga yang
berdekatan datang menghadiri upacara malam ketujuh. Para kerabat biasanya
membawa bahan-bahan mentah berupa beras, kelapa, dan sayur-sayuran, gula, uang,
dan lainnya. Kerabat biasanya sudah terlebih dahulu datang sebelum malam
ketujuh, untuk membantu pelaksanaan upacara. Sedangkan tetangga dan masyarakat
lainnya membawa aneka kue bagi perempuan dan gula oleh orang laki-laki.
Setelah semua tamu datang, teungku mulai memimpin upacara
yang didahului dengan samadiah. Biasanya upacara itu berlangsung dalam waktu
yang lama samapai dua atau tiga jam. Semua peserta turut mengikuti pembacaan
samadiah. Mula-mula dibaca oleh teungku, kemudian diikuti oleh peserta. Peserta
mengikuti upacara itu dengan penuh khidmat sambil mengharapkan agar pembacaan
samadiah diterima oleh Allah dan berpahala, juga dapat mengampuni dosa-dosa
yang pernah diperbuat selama yang meninggal masih hidup di dunia.
Setelah pembacaan samadiah selesai, upacara dilanjutkan
dengan acara makan kenduri. Adakalanya makan kenduri itu dilakukan sebelum
pembacaan samadiah, hal itu tergantung kepada kesepakatan antara tamu dengan
keluarga orang yang meninggal. Kalau acara makan kenduri diadakan sebelum
pembacaan samadiah, maka setelah pembacaan samadiah disajikan dengan acara
minum dan makan kue-kue.
Selesai acara pembacaan samadiah, acara terus dilangsungkan
dengan pembacaan Alquran. Peserta terdiri atas orang-orang yang sanggup membaca
Alquran dengan lafal dan irama yang baik. Acara dipimpin oleh teungku, setelah
teungku membaca pertama, kemudian diikuti oleh peserta lainnya yang duduk di
sebelah kanan teungku, dan terus bergiliran menurut tempat duduk. Posisi duduk
biasanya melingkar maka acara pembacaan pun terus berlingkar hingga selesai
acara. Adakalanya, pembacaan ayat Alquran terlebih dahulu, kemudian dilanjutkan
dengan samadiah.
Apabila acara pembacaan Alquran sudah selesai, maka teungku
menutup acara dengan pembacaan doa. Para peserta lainnya menadah tangan ke atas
sambil menyebutkan amiiin. Ketika pembacaan doa hampir selesai, salah seorang
anggota keluarga bangun memberikan sedekah, biasanya dimasukkan ke dalam
kantong baju peserta. Banyaknya jumlah uang yang disedekahkan itu tergantung
pada kemampuan keluarga yang meninggal.
Kenduri dan sedekah yang diberikan kepada tamu itu mempunyai
tujuan agar mendapat pahala dan sebagai pemberian kepada roh yang meninggal.
Karena ada di antara masyarakat yang beranggapan bahwa roh orang yang meninggal
itu sebelum 40 hari masih selalu mengunjungi rumahnya. Oleh sebab itu kepada
roh itu perlu diberi makan. Jadi semua pemberian kepada tamu sebagai ganti
memberikan kepada orang yang sudah meninggal.
Pula batee
Pada hagi harinya, anggota keluarga bersama seorang teungku
mengunjungi kuburan dengan maksud melakukan upacara pula batee (menanam batu
nisan) dan menabur batu putih di atas kuburan. Setelah itu, dilakukan upacara
siraman, yaitu menyiram di atas kuburan sebanyak tiga kali dengan air ramuan
wewangian yang sudah disiapkan. Upacara menanam batu nisan dan siraman dipimpin
oleh teungku, setelah teungku menanam batu nisan, lalu membaca doa, bagi orang
yang mampu akan memberi sedekah seadanya. Selain itu, juga sudah disiapkan nasi
ketan untuk dibagikan di kuburan termasuk kepada teungku.
Setelah selesai upacara kenduri ketujuh, upacara baru
dilakukan lagi pada hari keempatbelas yang disebut dengan kenduri duaseun
tujuh, kenduri keempat puluh dan seterusnya, tergantung kemampuan keluarga yang
ditinggalkan. Maksud upacara itu sama seperti upacara-upacara sebelumnya, yaitu
untuk menghormati roh orang yang sudah meninggal karena dianggap roh orang yang
sudah meninggal masih mengunjungi rumah bersama keluarganya.
Refungsionalisasi dan
Reinterpretasi Upacara Tradisional
Pengembangan kebudayaan harus diarahkan untuk memberikan
wawasan budaya dan makna pada pembangunan dalam segenap dimensi kehidupan
masyarakat, berbangsa, dan bernegara serta ditujukan untuk meningkatkan harkat
dan martabat manusia serta memperkuat jati diri dan kepribadian bangsa.
Kebudayaan lokal di daerah harus dikembangkan dan
diberdayakan guna menunjang pembangunan daerah. Pengembangan kebudayaan pada
dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia baik yang bersifat
materi, etis, maupun estetis. Pengembangan kebudayaan merupakan bagian dari
upaya bangsa dalam menghadapi globalisasi dan mengantisipasi masa depan dengan
segala masalah dan tantangannya. Warisan budaya masa lalu tetap penting dan
bermakna, namun harus ditambah dengan nilai-nilai baru secara kreatif dan
disesuaikan relevansi zaman. Pengembangan kebudayaan juga diarahkan pada
keutuhan pandangan guna membentung munculnya perpecahan dan kontradiksi di
kalangan masyarakat yang pluralistik.
Nilai-nilai budaya yang perlu dipertahankan dalam
pembangunan adalah nilai budaya yang berorientasi ke masa depan, seperti hidup
hemat, berhati-hati, bersih, dan bersemangat. Nilai budaya yang berhasrat untuk
mengeksplorasi lingkungan dan kekuasaan alam, misalnya inovasi teknologi sesuai
dengan lingkungan dan potensi alam. Nilai budaya yang memandang tinggi hasil
karya manusia, yaitu motivasi untuk berbudaya kreatif dan produktif, serta
berkarya sendiri. Nilai budaya yang mendorong pada kemandirian, percaya diri,
untuk mencapai sesuatu keberhasilan yang tinggi. Nilai budaya yang mengembangkan
tanggung jawab bersama sehingga mau berpartisipasi, bergotong royong,
toleransi, dan mau hidup berdampingan. Selanjutnya, nilai-nilai dasar yang
perlu dikembangkan adalah nilai-nilai yang menitikberatkan pada perjuangan
kelayakan hidup, yaitu pengemban nilai-nilai ekonomi agar terlepas dari
kemiskinan. Nilai-nilai yang mempertahankan jati diri atau mempertahankan
keberadaan, yaitu ingin menciptakan masyarakat yang makmur dan adil. Nilai yang
berhubungan dengan wawasan kebangsaan, terutama dalam menghadapi dunia yang
semakin terbuka, budaya inovatif, kreatif, dan produktif. Nilai yang melindungi
kehidupan yang bersama yang plural, yaitu solidaritas, keadilan dan pemerataan.
Nilai ekonomi yang mengimbau terjadinya persaingan yang sehat dalam dunia
global, inovatif, menciptakan nilai-nilai baru. Nilai aman, damai, tentram,
yang menciptakan kondisi membangun yang cepat dan terkenal kembali. Nilai
berinteraksi dengan lingkungan, demi kelestarian potensi alam sehingga ada rasa
bertanggung jawab terhadap generasi yang akan datang.
Untuk itu, budaya daerah khususnya upacara kematian yang ada
di masyarakat perlu ditinjau kembali, apakah upacara itu masih relevan dengan
zaman yang semakin kompleks, seperti dari segi waktu, tenaga, hemat dan
kebersihan. Hal itu dapat kita perhatikan, misalnya upacara kenduri yang
dilakukan selama beberapa hari ; sangat menyita waktu dan tenaga, serta biaya.
Bagi orang yang tidak mampu sekalipun kadangkala memaksakan diri untuk
melakukan upacara kenduri bahkan dengan meminjam sana-sini bahkan dengan
menjual harta yang ada. Setelah acara itu selesai, selain hartanya sudah habis
juga harus menanggung beban hutang. Padahal biaya dan harta tersebut dapat
digunakan sebagai modal usaha dan biaya hidup keluarga yang ditinggalkan.
Pelaksanaan upacara yang menghabiskan waktu berhari-hari
juga sangat merugikan, yang mestinya dapat melakukan sesuatu kegiatan atau
pekerjaan yang lebih bermanfaat. Oleh karena itu, upacara yang menghabiskan
biaya dan waktu secara berlebihan sudah perlu dipikirkan, apalagi pada zaman
yang sangat menghargai waktu tentu sangat sia-sia menghabiskan waktu pada
kegiatan yang tidak begitu esensial. Begitu juga halnya dengan nilai hidup
bersih, dapat kita perhatikan bahwa makanan yang diolah di tempat upacara
kematian itu masih kurang memperhatikan segi kebersihan dan kesehatan.
Prosesi acara yang dianggap skral tersebut sebenarnya dapat
direfungsi dan interpretasi dengan tidak merubah nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya, seperti halnya yang terjadi pada masyarakat Bali. Di Bali, sesuatu
yang dianggap sakral dapat dipropan dan disemipropankan untuk dikonsumsikan
sebagai hiburan kepada masyarakat umum.
Penutup
Upacara adalah tata nilai yang diyakini, namun nilai-nilai
itu tidak berarti bersifat tetap, tetapi dinamis. Nilai-nilai upacara dapat
dikembangkan dan ditafsirkan sesuai dengan realitas yang dihadapi. Upacara yang
merupakan bagian dari tata cara kehidupan sosial yang merujuk pada realitas
sosial masa lalu. Tentu gambaran dan penafsiran yang dilakukan saat itu belum
tentu dapat diterapkan lagi untuk kondisi sosial saat ini yang berbeda dan jauh
lebih kompleks karena perkembangan masyarakat. Proses reinterpretasi adalah
sebuah keharusan tanpa harus meninggalkan nilai-nilai fundamental. tetapi
dinamis dan dapat diinterpretasi terus-menerus tanpa kehilangan maknanya yang
konstan. Tanpa reinterpretasi, upacara akan menempati posisi yang sama dan
selalu terlibat ketegangan dengan perkembangan zaman.
Setiap fenomena sosial dan individual dapat dilacak akar
permasalahannya, memang patut dipertanyakan kembali posisi dan fungsi upacara
dalam kehidupan masyarakat. Apabila agama telah menjadi standard dan sumber
pandangan hidup pemeluknya, tetapi mengapa fenomena sosial dan individual yang
dijumpai banyak yang tidak mencerminkan nilai-nilai agama karena belum tentu
juga bahwa fenomena sosial dan individual tersebut merupakan pencerminan
religius masyarakat.
Arus perubahan tetap berjalan, upacara tradisional hanya
menjadi tempat pelarian yang perkembangannya kemudian memposisikan diri
berhadapan dengan perkembangan kebudayaan. Kondisi seperti itu tidak mungkin
terus dibiarkan berlangsung karena akan mengakibatkan kerugian kemanusiaan
dalam kehidupan beragama dan berbudaya. Tanpa adanya perubahan upacara akan
mengasingkan manusia dan ditinggalkan manusia dari kenyataan hidup yang semakin
kompleks.
#sumber referensi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar